Senin, 17 Oktober 2011

epidemiologi


KASUS KONTROL

PENDAHULUAN
Penelitian kasus-kontrol (case-control study), atau yang sering juga disebut sebagai case-comparison study, case-compeer study, case-referent study, atau retrospective study, merupakan penelitian epidemiologis analitik observasional yang menelaah hubungan antara efek (penyakit atau kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor-faktor risiko tertentu. Desain penelitian kasus-kontrol dapat digunakan untuk menilai berapa besar peran faktor risiko dalam kejadian penyakit (cause-effect relationship), seperti hubungan antara kejadian kanker serviks dengan perilaku seksual, hubungan antara tuberkulosis pada anak dengan vaksinasi BCG, atau hubungan antara status gizi bayi berusia 1 tahun dengan pemakaian KB suntik pada ibu.
­­­­­­­­­­­­­­­­­­Dalam hal kekuatan hubungan sebab akibat, studi kasus-kontrol ada di bawah desain eksperimental dan studi kohort, namun lebih kuat daripada studi cross-sectional, karena pada studi kasus-kontrol terdapat dimensi waktu, sedangkan studi cross-sectional tidak. Desain kasus-kontrol mempunyai berbagai kelemahan, namun juga memiliki beberapa keuntungan. Dengan perencanaan yang baik, pelaksanaan yang cermat, serta analisis yang tepat, studi kasus-kontrol dapat memberikan sumbangan yang bermakna dalam berbagai bidang kedokteran klinik, terutama untuk penyakit-penyakit yang jarang ditemukan.

DEFINISI
Penelitian kasus-kontrol adalah suatu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospektif, dimulai dengan mengidentifikasi pasien dengan efek atau penyakit tertentu (kelompok kasus) dan kelompok tanpa efek (kelompok kontrol), kemudian diteliti faktor risiko yang dapat menerangkan mengapa kelompok kasus terkena efek, sedangkan kelompok kontrol tidak. 1,3,4,5 Desain penelitian ini bertujuan mengetahui apakah suatu faktor risiko tertentu benar berpengaruh terhadap terjadinya efek yang diteliti dengan membandingkan kekerapan pajanan faktor risiko tersebut pada kelompok kasus dengan kelompok kontrol. Jadi, hipotesis yang diajukan adalah : Pasien penyakit x lebih sering mendapat pajanan faktor risiko Y dibandingkan dengan mereka yang tidak berpenyakit X. Pertenyaan yang perlu dijawab dengan penelitian ini adalah : apakah ada asosiasi antara variabel efek (penyakit, atau keadaan lain) dengan variabel lain (yang diduga mempengaruhi terjadi penyakit tersebut) pada populasi yang diteliti.



LANGKAH-LANGKAH PADA PENELITIAN KASUS-KONTROL
Tahapan kegiatan dalam penelitian kasus-kontrol adalah sebagai berikut :
1.      Menetapkan Pertanyaan Penelitian dan Hipotesis yang Sesuai
Dari pertanyaan penelitian dapat disusun hipotesis penelitian yang akan diuji  validitasnya secara empiris.
2.      Mendeskripsikan dan Mengidentifikasi Variabel Penelitian
 Intensitas pajanan faktor risiko dapat dinilai dengan cara mengukur dosis, frekuensi,  atau lamanya pajanan.
 Ukuran pajanan terhadap faktor risiko yang berhubungan dengan frekuensi dapat besifat :
 • Dikotom, yaitu bila hanya terdapat dua kategori, misalnya pernah minum jamu peluntur atau tidak 
• Polikotom, pajanan diukur pada lebih dari dua tingkat, misalnya tidak pernah, kadang-kadang, atau sering terpajan
• Kontinu, pajanan diukur dalam skala kontinu atau numerik, misalnya umur dalam tahun, paritas, berat lahir

Ukuran pajanan yang berhubungan dengan waktu dapat berupa :
• Lamanya pajanan (misalnya jumlah bulan pemakaian AKDR) dan apakah pajanan itu berlangsung terus-menerus)
• Saat mendapat pajanan pertama
• Bilakah terjadi pajanan terakhir

3.      Menentukan Populasi Terjangkau dan Sampel (Kasus, Kontrol) serta Cara Pemilihan Subyek Penelitian
Kelompok kasus adalah kelompok individu yang menderita penyakit yang akan diteliti dan ikut dalam proses penelitian sebagai subyek studi. Sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok individu yang sehat atau tidak menderita penyakit yang akan diteliti, tetapi mempunyai peluang yang sama dengan kelompok kasus karena terpajan oleh faktor risiko yang diduga sebagai penyebab timbulnya penyakit.
Cara terbaik untuk memilih kasus adalah dengan mengambil secara acak subyek dari populasi yang menderita efek. Namun dalam praktek, hal ini hampir tidak mungkin dilaksanakan karena penelitian kasus-kontrol lebih sering dilakukan pada kasus yang jarang yang diagnosisnya biasanya ditegakkan di rumah sakit.

Beberapa hal berikut ini perlu dipertimbangkan dengan cermat dalam pemilihan kasus untuk studi kasus-kontrol:
a.     Kasus insidens (baru) atau kasus prevalens (baru + lama)
b.      Tempat pengumpulan kasus
c.        Saat diagnosis
Sementara itu, pemilihan kontrol semata-mata ditentukan oleh peneliti sehingga sangat terancam bias. Kelompok kontrol harus berasal dari populasi yang sama dengan kasus dan didasarkan pada kesamaan dengan karakteristik subyek pada kasus, sehingga mempunyai kesempatan yang sama untuk terpajan oleh faktor risiko yang diteliti. 1,3,5
Ada beberapa cara untuk memilih kontrol yang baik :
a. Memilih kasus dan kontrol dari populasi yang sama
b. Memilih kontrol dengan karakteristik yang sama dengan kasus dalam semua variabel yang mungkin berperan sebagai faktor risiko kecuali variabel yang diteliti (matching)
c. Memilih lebih dari satu kelompok kontrol

Pada dasarnya untuk penelitian kasus-kontrol jumlah subyek yang akan diteliti bergantung kepada :
a. Berapa besar densitas pajanan faktor risiko pada populasi. Bila densitas pajanan faktor risiko terlalu kecil atau terlalu besar, maka kemungkinan pajanan risiko pada kasus dan kontrol hampir sama dan diperlukan sampel yang cukup besar untuk mengetahui perbedaannya.
b. Rasio odds terkecil yang dianggap bermakna (R).
c. Derajat kemaknaan (kesalahan tipe I,a) dan kekuatan (power=1-b) yang dipilih. Biasanya dipilih a=5%, b=10% atau 20% (power=90% atau 80%).
d. Rasio (perbandingan) antara jumlah kasus dan kontrol. Dengan memilih kontrol lebih banyak, maka jumlah kasus dapat dikurangi. Bila jumlah kontrol diambil c kali, maka jumlah kasus dapat dikurangi dari n menjadi (c+1)n/2c.
e. Apakah pemilihan kontrol dilakukan dengan matching atau tidak. Dengan melakukan matching, jumlah subyek yang diperlukan menjadi lebih sedikit.
4.      Melakukan Pengukuran Variabel Efek dan Faktor Risiko
Pengukuran terhadap variabel yang dipelajari (efek dan faktor risiko) merupakan hal yang sentral pada studi kasus kontrol. Penentuan efek harus sudah didefinisikan dalam usulan penelitian. Pengukuran faktor risiko atau pajanan yang terjadi di waktu lampau melalui anamnesis (recall) semata-mata mengandalkan daya ingat responden. Bias yang dapat mengancam dalam konteks ini adalah recall bias. 1,3
5.      Menganalisis Data Hasil Penelitian
Analisis hasil studi kasus-kontrol dapat bersifat sederhana yaitu penentuan rasio odds, sampai yang bersifat kompleks yaitu menggunakan analisis multivariat. Ini ditentukan oleh apa yang ingin diteliti, bagaimana cara memilih kontrol (matched atau tidak), dan terdapatnya variabel yang mengganggu atau tidak.
Penentuanv  Rasio  Odds
A.    Studi kasus-kontrol tanpa matching
Rasio odds (RO) pada studi kasus-kontrol dapat diartikan sama dengan risiko relatif (RR) pada studi kohort. Pada penelitian kasus-kontrol terdapat kelompok kasus (a+c) dan kelompok kontrol (b+d). Dalam hal ini, yang dapat dinilai adalah berapa sering terdapat pajanan pada kasus dibandingkan pada kontrol, disebut dengan rasio odds (RO).

RO = odds pada kelompok kasus : odds pada kelompok kontrol

(proporsi kasus dengan faktor risiko) / (proporsi kasus tanpa faktor risiko)
----------------------------------------------------------------------------
(proporsi kontroldengan faktor risiko) / (proporsi kontrol tanpa faktor risiko)

B.     Studi kasus-kontrol dengan matching
Pada studi kasus-kontrol dengan matching individual, harus dilakukan analisis dengan menjadikan kasus dan kontrol sebagai pasangan-pasangan. Hasil pengamatan studi kasus-kontrol biasanya disusun dalam tabel 2 x 2 dengan keterangan sebagai berikut :

Sel a : kasus mengalami pajanan, kontrol mengalami pajanan
Sel b : kasus mengalami pajanan, kontrol tidak mengalami pajanan
Sel c : kasus tidak mengalami pajanan, kontrol mengalami pajanan
Sel d : kasus dan kontrol tidak mengalami pajanan
Kontrol
Kasus Risiko + Risiko -
Risiko + a b
Risiko - c d

Rasio odds pada studi kasus-kontrol dengan matching ini dihitung dengan mengabaikan sel a karena baik kelompok kasus maupun kontrolnya terpajan, dan sel d karena baik kelompok kasus maupun kontrolnya tidak terpajan. Rasio odds dihitung dengan formula :

RO = b / c
RO dapat dianggap mrndekati risiko relatif apabila :
1. Insidens penyakit yang diteliti kecil, tidak lebih dari 20% populasi terpajan
2. Kelompok kontrol merupakan kelompok representatif dari populasi dalam hal peluangnya untuk terpajan faktor risiko
3. Kelompok kasus harus representatif
RO > 1 menunjukkan bahwa faktor yang diteliti memang merupakan faktor risiko, bila RO = 1 atau mencakup angka 1 berarti bukan merupakan faktor risiko, dan bila RO < par =" p(r-1)+1" p =" proporsi" r =" rasio"> 1
BIAS DALAM STUDI KASUS KONTROL
Bias merupakan kesalahan sistematis yang menyebabkan hasil penelitian tidak sesuai dengan kenyataan. Pada penelitian kasus-kontrol terdapat tiga kelompok bias yang dapat mempengaruhi hasil, yaitu :
a. Bias seleksi
b. Bias informasi
c. Bias perancu (confounding bias)

Sackett* mencatat beberapa hal yang dapat menyebabkan bias, di antaranya adalah :
1.      Informasi tentang faktor risiko atau faktor perancu (confounding factors) mungkin terlupa oleh subyek penelitian atau tidak tercatat dalam catatan medik kasus (recall bias)
2.      Subyek yang terkena efek (kasus), karena ingin mengetahui penyebab penyakitnya lebih sering melaporkan faktor risiko dibandingkan dengan subyek yang tidak terkena efek (kontrol)
3.      Peneliti kadang sukar menentukan dengan tepat apakah pajanan suatu agen menyebabkan penyakit ataukah terdapatnya penyakit menyebabkan subyek lebih terpajan oleh agen
4.      Identifikasi subyek sebagai kasus maupun kontrol yang representatif seringkali sangat sukar

KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PENELITIAN KASUS KONTROL
Kelebihan
1.      Studi kasus kontrol kadang atau bahkan menjadi satu-satunya cara untuk meneliti kasus yang jarang atau yang masa latennya panjang, atau bila penelitian prospektif tidak dapat dilakukan karena keterbatasan sumber atau hasil diperlukan secepatnya.
2.      Hasil dapat diperoleh dengan cepat.
3.      Biaya yang diperlukan relatif lebih sedikit sehingga lebih efisien.
4.      Memungkinkan untuk mengidentifikasi berbagai faktor risiko sekaligus dalam satu penelitian (bila faktor risiko tidak diketahui).
5.      Tidak mengalami kendala etik seperti pada penelitian eksperimen atau kohort.
Kelemahan
1.      Data mengenai pajanan faktor risiko diperoleh dengan mengandalkan daya ingat atau catatan medik. Daya ingat responden menyebabkan terjadinya recall bias, baik karena lupa atau responden yang mengalami efek cenderung lebih mengingat pajanan faktor risiko daripada responden yang tidak mengalami efek. Data sekunder, dalam hal ini catatan medik rutin yang sering dipakai sebagai sumber data juga tidak begitu akurat (objektivitas dan reliabilitas pengukuran variabel yang kurang).
2.      Validasi informasi terkadang sukar diperoleh.
3.      Sukarnya meyakinkan bahwa kelompok kasus dan kontrol sebanding karena banyaknya faktor eksternal / faktor penyerta dan sumber bias lainnya yang sukar dikendalikan.
4.      Tidak dapat memberikan incidence rates karena proporsi kasus dalam penelitian tidak mewakili proporsi orang dengan penyakit tersebut dalam populasi.
5.      Tidak dapat dipakai untuk menentukan lebih dari satu variabel dependen, hanya berkaitan dengan satu penyakit atau efek.
6.      Tidak dapat dilakukan untuk penelitian evaluasi hasil pengobatan.

Minggu, 16 Oktober 2011

Medis


BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang
Jutaan jenis sumber penyakit setiap saat mengancam lingkungan kita. Sebagiannya berasal dari limbah, baik limbah industri, limbah rumah tangga maupun limbah rumah sakit. Penelitian dan pencarian solusi terus dilakukan. Tantangan ke depan adalah bagaimana mendaur ulang limbah yang ditakuti menghasilkan bahan yang dibutuhkan.
Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Kesehatan menyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu Pemerintah menyelenggarakan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan penyakit, pencegahan dan penanggulangan pencemaran, pemulihan kesehatan, penerangan dan pendidikan kesehatan pada rakyat dan lain sebagainya. Usaha peningkatan dan pemeliharaan kesehatan harus dilakukan secara terus menerus, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan. Sejalan dengan itu, perlindungan terhadap bahaya pencemaran lingkungan juga perlu mendapat perhatian khusus dan diharapkan mengalami kemajuan.
Makin disadari bahwa kegiatan rumah sakit (RS) yang sangat kompleks tidak saja
memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitarnya, tapi juga mungkin dampak negative berupa cemaran akibat proses kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang benar. Limbah berupa virus dan kuman yang berasal dan Laboratorium Virologi dan Mikrobiologi dapat membahayakan kesehatan para petugas, pasien maupun masyarakat. Sampai saat ini belum ada alat penangkalnya sehingga sulit dideteksi. Selain itu, limbah cair, limbah padat dan limbah gas yang dihasilkan RS dapat pula menjadi media penyebaran gangguan atau penyakit, berupa pencemaran udara, pencemaran air, tanah, pencemaran makanan dan minuman. Pengelolaan limbah RS yang tidak baik akan memicu resiko terjadinya kecelakaan kerja dan penularan penyakit dari pasien ke pekerja, dari pasien ke pasien, dari pekerja ke pasien, maupun dari dan kepada masyarakat pengunjung RS. Tentu saja RS sebagai institusi yang sosio-ekonomis karena tugasnya memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, tidak terlepas dari tanggung jawab pengelolaan limbah yang dihasilkan.
Untuk menjamin keselamatan dan kesehatan awak RS maupun orang lain yang berada di lingkungan RS dan sekitarnya, Pemerintah (dhi Depkes) telah menyiapkan perangkat lunak berupa peraturan, pedoman dan kebijakan yang mengatur pengelolaan dan peningkatan kesehatan di lingkungan RS, termasuk pengelolaan limbah RS.
Di samping itu secara bertahap dan berkesinambungan Depkes juga telah mengupayakan instalasi pengelolaan limbah pada RS-RS pemerintah. Namun pengelolaan limbah tersebut masih perlu ditingkatkan lagi. Tantangan ke depan adalah bagaimana "menyulap" limbah yang semula menjadi sumber penyakit yang ditakuti masyarakat menjadi bahan yang dapat didaur ulang, misalnya menjadi air bersih, pupuk, atau energy yang dibutuhkan masyarakat.


B.  Rumusan Masalah
1.      Jenis-jenis apakah yang ada dalam limbah medis tersebut
2.      Bagaimana mekanisme proses pengelolaan limbah medis tersebut
3.      Bagaimana cara pengelolaan limbah medis tersebut
4.      Usaha yang digunakan untuk mencegah limbah medis tersebut


C.  Tujuan
1.      Agar kita tahu bahaya serta bagaimana dampak yang diakibatkan oleh limbah medis
2.      Bagaimana mengetahui beberapa limbah medis
3.      Bagaimana cara mengolah atau penanganan limbah medis





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


Rumah sakit (RS) merupakan tempat untuk menyembuhkan orang sakit. Namun, RS pun bisa menjadi sumber penyakit karena di sana banyak penderita berbagai penyakit, baik menular maupun tak menular. Karena itu, pengelolaan limbah di RS sangat diperlukan, terutama mekanisme agar buangan dari RS tak berdampak bagi para pekerja RS dan lingkungan sekitarnya.

Di RS sering kali terjadi infeksi silang (nosokomial). Sebagai contoh, limbah medis tajam seperti alat suntik. Karena berhubungan langsung dengan penderita, alat itu mengandung mikroorganisme, atau bibit penyakit. Bila pengelolaan pembuangannya tidak benar, alat suntik dapat menularkan penyakit kepada pasien lain, pengunjung RS dan puskesmas, petugas kesehatan, maupun masyarakat umum.

Kasubdit Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL) Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2M-PL) Departemen Kesehatan, Samilan, mengatakan, pengelolaan limbah RS yang tak baik, sangat berbahaya bagi para pekerja di RS dan lingkungannya.

Langkah sterilisasi merupakan kewajiban rumah sakit. Jika tidak disterilisasi, maka barang-barang itu berbahaya bila disentuh orang. Tak heran bila banyak perawat dan pegawai di RS berisiko tinggi terkena infeksi cemaran limbah ini di tempatnya bekerja.
Kendati Departemen Kesehatan telah menyusun Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk mengukur kualitas pelayanan kesehatan dasar yang salah satunya adalah kewajiban rumah sakit dan Puskesmas untuk mengolah limbahnya. Namun Menkes mengakui bahwa penerapannya masih belum baik. Berdasarkan hasil assesment tahun 2002, diketahui bahwa baru 49 % dari 1.176  rumah sakit (526 rumah sakit pemerintah dan 652 rumah sakit milik swasta) di 30 provinsi, baru 648 RS  yang memiliki incinerator dan 36% memiliki IPAL (Instalasi Pengolah Air Limbah) dengan kondisi sebagian diantaranya tidak berfungsi.       Lebih lanjut ditegaskan, Depkes yang secara teknis memiliki kewenangan dalam penatapan standar-standar pelayanan kesehatan telah mengeluarkan berbagai ketentuan tentang penanganan limbah, terutama melalui Kepmenkes No. 876/2001 tentang Pedoman Teknis Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan serta Permenkes No. 986/1992 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan. 
Limbah medis sebagaimana limbah lainnya berkaitan dengan masalah lingkungan. Karena itu dalam penanganan limbah medis ini dilakukan bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup yang memiliki otoritas dalam penerbitan produk hukum di bidang lingkungan hidup. Koordinasi juga dilakukan dengan Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) yang memiliki otoritas dalam pengembangan teknologi tepat guna dalam pembuangan limbah medis. Selain itu, Depkes juga mengajak BKKBN yang dalam pelayanannya juga menghasilkan limbah medis tajam.                
Menkes menegaskan, di masa lalu penggunaan alat suntik baik untuk pengobatan maupun imunisasi masih mengandalkan semprit atau syrenge yang disterilkan melalui perebusan berulang-ulang sehingga hampir tidak ditemui limbah alat suntik. Tetapi sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, para dokter dan petugas kesehatan harus menggunakan alat suntik disposable (sekali pakai) dan bahkan memakai autodisable syringe (alat suntik sekali pakai yang betul-betul tidak dapat dipakai kembali), mengakibatkan adanya limbah alat suntik yang dikategorikan limbah medis tajam dan berbahaya.
Penggolongan kategori limbah medis dapat diklasifikasikan berdasarkan potensi bahaya yang tergantung didalamnya, serta volume dan sifat persistensinya yang menimbulkan masalah (Depkes RI, 2002) :
1. Limbah benda tajam seperti jarum, perlengkapan intravena, pipet Pasteur, pecahan gelas, dll.
2. Limbah infeksius, memiliki pengertian sebagai Limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan intensif) dan Limbah laboratorium.
3. Limbah patologi (jaringan tubuh) adalah jaringan tubuh yang terbuang dari oroses bedah atau autopsi
4. Limbah Citotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan bat citotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi citotoksik
5. Limbah farmasi berasal dari obatobat yang kadaluarsa, yang sudah tidak diperlukan
6. Limbah kimia dihasilkan dari penggunaan kimia dalam tindakan medis, veterinary, labratorium, proses sterilisasi dan riset.

7. Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari pengguanan medis atau riset radionuklida

Masalah utama dalam mengatasi limbah infeksius adalah resiko penularan oleh agen infeksius yang berasal dari limbah ini. Resiko penularan akan muncul saat pembuangan dari sumbernya, proses pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan hingga penanganan baik onsite maupun offsite (Colony, 2001)hal ini merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan wadah atau kontainer untuk limbah infeksius. Pertimbangan penggunaan wadah juga dibedakan sesuai tipe limbah infeksius, dimana dapat digolongkan menjadi tiga tipe, yaitu : limbah benda tajam, limbah padat dan cair. Ketiganya memiliki perbedaan besar secara fisik , kimia, dan resiko yang dapat ditimbulkan sehingga persyaratan dalam pewadahan dan penanganannyapun berbeda.
Pada prinsipnya limbah medis harus sesegera mungkin ditreatmen setelah dihasilkan dan penyimpanan merupakan prioritas akhir bila limbah benar-benar tidak dapat langsung diolah. Faktor penting dalam penyimpanan (Reinhardt,1991): melengkapi tempat penyimpanan dengan cover atau penutup, menjaga agar areal penyimpanan limbah medis tidak tercampur dengan limbah non-medis, membatasi akses sehingga hanya orang tertentu yang dapat memasuki
area serta, lebeling dan pemilihan tempat penyimpanan yang tepat.
Dalam strategi pengolahan dan pembuangan limbah rumah sakit terdapat beberapa sistem, antara lain :
• Autoclaving
• Desinfeksi dengan bahan kimia
• Insinerator























BAB III
PEMBAHASAN

Rumah sakit adalah salah satu industri jasa yang memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan berfungsi sosial serta menyelenggarakan kegiatan rumah sakit yang meliputi kuratif (pengobatan penyakit), rehabilitatif (pemulihan kesehatan), preventif (pencegahan penyakit), dan promotif (pembinaan kesehatan).
Untuk melakukan kegiatannya, rumah sakit menghasilkan bermacam-rnacam buangan berbentuk cair, padat, dan gas yang berasal dari kegiatan medis maupun nonmedis. Hasil buangan ini akan berdampak terhadap kesehatan pasien, pengunjung, masyarakat sekitar rumah sakit, petugas yang menangani secara langsung, bahkan pada lingkungan alam sekitar.
Pengelolaan limbah rumah sakit yang sudah lama diupayakan dengan menyiapkan perangkat lunaknya yang berupa peraturan-peraturan, pedoman-pedoman dan kebijakan-kebijakan yng mengatur pengelolaan dan peningkatan kesehatan dilingkungan rumah sakit.
Disamping peraturan-peraturan tersebut secara bertahap dan berkesinambungan Departemen Kesehatan  terus mengupayakan dan menyediakan dan untuk  pembangunan insilasi pengelolaan limbah rumah sakit melalui  anggaran pembangunan maupun dari sumber bantuan dana lainnya. Dengan demikian sampai saat ini sebagai rumah sakit pemerintah telah dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan limabah, meskipun perlu untuk disempurnakan. Namun disadari bahwa pengelolaan limbah rumah sakit masih perlu ditingkatkan  permasyarakatan terutama dilingkungan masyarakat rumah sakit. (Depkes RI, 1992).
Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis. Limbah infeksius misalnya jaringan tubuh yang terinfeksi kuman. Limbah jenis itu seharusnya dibakar, bukan dikubur, apalagi dibuang ke septic tank. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuangan seperti itu.
Kenyataannya, banyak tangki pembuangan sebagai tempat pembuangan limbah yang tidak memenuhi syarat. Hal itu akan menyebabkan pencemaran, khususnya pada air tanah yang banyak dipergunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Setyo menyebutkan, buruknya pengelolaan limbah rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar.
A.  KARAKTERISTIK LIMBAH RUMAH SAKIT
Sampah dan limbah rumah sakit adalah semua sampah dan  limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan  penunjang lainnya. Apabila dibanding dengan kegiatan instansi lain, maka dapat dikatakan bahwa jenis sampah dan  limbah rumah sakit dapat dikategorikan kompleks.
Secara  umum sampah dan limbah rumah sakit dibagi dalam dua  kelompok besar, yaitu sampah atau limbah klinis dan non klinis  baik padat maupun cair.
Limbah klinis adalah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan, gigi, veterinari, farmasi atau sejenis, pengobatan, perawatan, penelitian atau pendidikan yang menggunakan bahan-bahan beracun, infeksius berbahaya atau bisa membahayakan kecuali jika dilakukan pengamanan tertentu.
Bentuk limbah klinis bermacam-macam dan berdasarkan potensi yang terkandung di dalamnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Limbah benda tajam
Limbah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki  sudut tajam, sisi, ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas, pisau bedah.
Semua benda tajam ini memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui sobekan atau tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun atau radio aktif.
2) Limbah infeksius
Limbah infeksius mencakup pengertian sebagai berikut:
· Limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan intensif)
· Limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit menular.
3) Limbah jaringan tubuh
Limbah jaringan tubuh meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan tubuh, biasanya dihasilkan pada saat pembedahan atau otopsi.
4) Limbah sitotoksik
Limbah sitotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan obat sitotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi sitotoksik.
5) Limbah farmasi
Limbah farmasi ini dapat berasal dari obat-obat kadaluwarsa, obat-obat yang terbuang karena batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat-obat yang dibuang oleh pasien atau dibuang oleh masyarakat, obat-obat yang tidak lagi diperlukan oleh institusi yang ber Cermin Dunia Kedokteran No. 130, 2001 58 sangkutan dan limbah yang dihasilkan selama produksi obat-obatan.
6) Limbah kimia
Limbah kimia adalah limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam tindakan medis, veterinari, laboratorium, proses sterilisasi, dan riset.
7) Limbah radioaktif
Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radio nukleida. Limbah ini dapat berasal dari antara lain : tindakan kedokteran nuklir, radio-imunoassay dan bakteriologis; dapat berbentuk padat, cair atau gas.
Selain sampah klinis, dari kegiatan penunjang rumah sakit juga menghasilkan sampah non klinis atau dapat disebut juga sampah non medis. Sampah non medis ini bisa berasal dari kantor/administrasi kertas, unit pelayanan (berupa karton, kaleng, botol), sampah dari ruang pasien, sisa makanan buangan; sampah dapur (sisa pembungkus, sisa makanan/bahan makanan, sayur dan lain-lain).
Limbah cair yang dihasilkan rumah sakit mempunyai karakteristik tertentu baik fisik, kimia dan biologi. Limbah rumah sakit bisa mengandung bermacam-macam mikroorganisme, tergantung pada jenis rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang dan jenis sarana yang ada (laboratorium, klinik dll). Tentu saja dari jenis-jenis mikroorganisme tersebut ada yang bersifat patogen.
Limbah rumah sakit seperti halnya limbah lain akan mengandung bahan-bahan organik dan anorganik, yang tingkat kandungannya dapat ditentukan dengan uji air kotor pada umumnya seperti BOD, COD, TTS, pH, mikrobiologik, dan lainlain.

B.  PENGGOLONGAN LIMBAH MEDIS
Untuk memudahkan mengenal jenis limbah yang akan dimusnahkan, perlu dilakukan penggolongan limbah. Dalam kaitan dengan pengelolaan, limbah klinis dikategorikan menjadi 5 golongan sebabagi berikut :

Golongan A :
1) Dressing bedah, swab dan semua limbah terkontaminasi dari kamar bedah.
2) Bahan-bahan kimia dari kasus penyakit infeksi.
3) Seluruh jaringan tubuh manusia (terinfeksi maupun tidak), bangkai/jaringan hewan dari laboratorium dan hal-hal lain yang berkaitan dengan swab dan  dreesing.
Golongan B :
Syringe bekas, jarum, cartridge, pecahan gelas dan benda-benda tajam lainnya.
Golongan C :
Limbah dari ruang laboratorium dan postpartum kecuali yang termasuk dalam golongan A.

Golongan D :
Limbah bahan kimia dan bahan-bahan farmasi tertentu.
Golongan E :
Pelapis Bed-pan Disposable, urinoir, incontinence-pad, dan stomach.

C.  JENIS-JENIS LIMBAH
Jenis-jenis limbah rumah sakit meliputi bagian sebagai berikut ini :
o   Limbah klinik
Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin pembedahan dan di unit-unit resiko tinggi. Limbah ini mungkin berbahaya dan mengakibatkan resiko tinggi infeksi kuman dan populasi umum dan staf Rumah Sakit. Oleh karena itu perlu diberi label yang jelas sebagai resiko tinggi. Contoh limbah jenis tersebut ialah perban atau pembungkusyang kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi, jarum-jarum dan semprit bekas, kantung urine dan produk darah.
o   Limbah patologi
Limbah ini juga dianggap beresiko tinggi dan sebaiknya diautoclaf sebelum keluar dari unit patologi. Limbah tersebut harus diberi label biohazard.
o   Limbah bukan klinik
Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak berkontak dengan cairan badan. Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit, limbah tersebut cukup merepotkan karena memerlukan tempat yang besar untuk mengangkut dan menbuangnya.
o   Limbah dapur
Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor. Berbagai serangga seperti kecoa, kutu dan hewan pengerat seperti tikus merupakan gangguan bagi staf maupun pasien di Rumah Sakit.
o   Limbah radioaktif
Walaupun limbah ini tidak  menimbulkan persoalan pengendalian infeksi di rumah sakit, pembuangan secara aman perlu diatur dengan baik. Pemberian kode warna yang berbeda untuk masing-masing sangat membantu pengelolaan limbah tersebut. (Prasojo. D, 2008).

D.  SUMBER LIMBAH MEDIS
  • Unit pelayanan kesehatan dasar
  • Unit pelayanan kesehatan rujukan
  • Unit pelayanan kesehatan penunjang ( laboratorium)
  • Unit pelayanan non kesehatan ( farmasi )
                                Cara perlakuan terhadap bahan medis berbahaya , perlakuan yang tidak benar menimbulkan resiko ancaman yang bersifat infeksious, yang menimbulkan kerugian kesehatan.








E.  PENGARUH LIMBAH RUMAH SAKIT TERHADAP LINGKUNGAN DAN KESEHATAN
Pengaruh limbah rumah sakit terhadap kualitas lingkungan dan kesehatan dapat menimbulkan berbagai masalah seperti :
  • Gangguan kenyamanan dan estetika
Ini berupa warna yang berasal dari sedimen, larutan, bau phenol, eutrofikasi dan rasa dari bahan kimia organik.
  • Kerusakan harta benda
Dapat disebabkan oleh garam-garam yang terlarut (korosif, karat), air yang berlumpur dan sebagainya yang dapat menurunkan kualitas bangunan di sekitar rumah sakit.
  • Gangguan/kerusakan tanaman dan binatang
Ini dapat disebabkan oleh virus, senyawa nitrat, bahan kimia, pestisida, logam nutrien tertentu dan fosfor.
  • Gangguan terhadap kesehatan manusia
Ini dapat disebabkan oleh berbagai jenis bakteri, virus, senyawa-senyawa kimia, pestisida, serta logam seperti Hg, Pb, dan Cd yang berasal dari bagian kedokteran gigi.
  • Gangguan genetik dan reproduksi
Meskipun mekanisme gangguan belum sepenuhnya diketahui secara pasti, namun beberapa senyawa dapat menyebabkan gangguan atau kerusakan genetik dan sistem reproduksi manusia misalnya pestisida, bahan radioaktif.

Tabel 10. Metode Sterilisasi Untuk Limbah yang Dimanfaatkan Kembali
  • Limbah jarum hipodermik tidak dianjurkan untuk dimanfaatkan kembali. Apabila rumah sakit tidak mempunyai jarum yang sekali pakai (disposable), limbah jarum hipodermik dapat dimanfaatkan kembali setelah melalui proses salah satu metode sterilisasi pada Tabel I.10
  • Pewadahan limbah medis padat harus memenuhi persyaratan dengan penggunaan wadah dan label seperti Tabel I.11
  • Daur ulang tidak bisa dilakukan oleh rumah sakit kecuali untuk pemulihan perak yang dihasilkan dari proses film sinar X.
  • Limbah sitotoksis dikumpulkan dalam wadah yang kuat, anti bocor, dan diberi label bertuliskan ” Limbah Sitotoksis”.

Tabel I.11
Jenis Wadah dan label Limbah Medis Padat Sesuai Kategorinya
 
F. DAMPAK LIMBAH PADA KESEHATAN MASYARAKAT 
 
      Ada beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai resiko untuk mendapat  gangguan karena buangan rumah sakit. Pertama, pasien yang datang ke Rumah Sakit untuk memperoleh pertolongan pengobatan dan perawatan Rumah Sakit. Kelompok ini merupakan kelompok yang paling rentan Kedua, karyawan Rumah sakit dalam melaksanakan tugas sehari-harinya selalu kontak dengan orang sakit yang merupakan sumber agen penyakit. Ketiga, pengunjung / pengantar orang sakit yang berkunjung ke rumah sakit, resiko terkena gangguan kesehatan akan semakin besar. Keempat, masyarakat yang bermukim di sekitar Rumah Sakit, lebih-lebih lagi bila Rumah sakit membuang hasil buangan Rumah Sakit tidak sebagaimana mestinya ke lingkungan sekitarnya. Akibatnya adalah mutu lingkungan menjadi turun kualitasnya, dengan akibat lanjutannya adalah menurunnya derajat kesehatan masyarakat di lingkungan tersebut. Oleh karena itu, rumah sakit wajib melaksanakan pengelolaan buangan rumah sakit yang baik dan benar dengan melaksanakan kegiatan Sanitasi Rumah Sakit. 
 
      Melihat karakteristik dan dampak-dampak yang dapat ditimbulkan oleh buangan/limbah rumah sakit seperti tersebut diatas, maka konsep pengelolaan lingkungan sebagai sebuah sistem dengan berbagai proses manajemen didalamnya yang dikenal sebagai Sistem Manajemen Lingkungan (Environmental Managemen System) dan diadopsi Internasional Organization for Standar (ISO) sebagai salah satu sertifikasi internasioanal di bidang pengelolaan lingkunan dengan nomor seri ISO 14001 perlu diterapkan di dalam Sistem Manajemen Lingkungan Rumah Sakit. Dengan pendekatan sistem tersebut, pengelolaan lingkungan itu sendiri adalah suatu usaha untuk meningkatkan kualitas dengan menghasilkan limbah yang ramah lingkungan dan aman bagi masyarakat sekitar. 
 
      Keterlibatan pemerintah yang memiliki badan yang menangani dampak lingkungan, pihak manajemen puncak rumah sakit dan lembaga kemasyarakatan merupakan kunci keberhasilan untuk melindungi masyarakat dari dampak buangan /limbah rumah sakit ini. 
Solusi Maxpell
Maxpell menawarkan solusi terbaik dalam menangani permasalahan limbah medis dan non medis jenis padat (kering dan basah) yang terdapat di Puskesmas, Poliklinik, dan Rumah Sakit yaitu dengan menggunakan incinerator dengan sistem pembakaran yang sempurna dengan berbagai media bahan bakar yang terus dikembangkan baik dari sisi teknologi maupun kapasitas.
Solusi yang ditawarkan oleh maxpell adalah untuk mengatasi limbah medis dan non medis jenis padat (kering dan basah) dengan melakukan pemilahan jenis limbah berdasarkan pemusnahannya. Dibawah ini terdapat tabel jenis limbah yang dapat ditangani oleh teknologi maxpell.

KEGIATAN
PRODUKSI LIMBAH
Perawatan
Alat suntik , tabung infus , kasa, kateter, sarung tangan, masker , bungkus/botol obat, dlsb
Bedah
Alat suntik , tabung infus , kasa, kateter, sarung tangan, masker , bungkus/botol obat , pisau bedah, jaringan tubuh, kantong darah
Laboratorium
Alat suntik , pot sputum, pot urine/faeces, reagent, chemicals, kaca slide
Poliklinik
Alat suntik , tabung infus , kasa, kateter, sarung tangan, masker , bungkus/botol obat, dlsb
Farmasi
Dos, botol obat plastik/kaca, bungkus plastik, kertas, obat kedaluarsa, sisa obat.
Radiologi
Cartrige film, film, sarung tangan , kertas, plastik .
IGD
Alat suntik , tabung infus , kasa, kateter, sarung tangan, masker , bungkus/botol obat, dlsb
Dapur
Sisa bahan makanan (sayur, daging, tulang, bulu,dlsb), sisa makanan, kertas, plastik bungkus
Laundry
Kantong plastik
Kantor
Sisa bahan makanan (sayur, daging, tulang, bulu,dlsb), sisa makanan, kertas, plastik bungkus
 KM / WC
Pembalut, sabun, odol

Dengan adanya konsep pemilahan limbah padat medis maupun non medis, tentunya akan dengan mudah diperkirakan berapa keuntungan rumah sakit/puskesmas/poliklinik dari hasil pengolahan limbah yang dapat di daur ulang. Untuk memudahkan perkiraan keuntungan dari hasil pengolahan sampah dapat dilihat pada tabel dibawah ini



No
Jenis Barang
Harga Per-Kg (Rp)
1
Kertas bersih
400
2
Kertas kotor
50
3
Kardus
250
4
Plastik lemas
300
5
Plastik ember
700
6
Botol Infus
50 / bh
7
Botol aqua
100
8
Kresek (HD)
50
9
Kaleng
75
10
Tulang
100
11
Beling putih
50
12
Kuningan
5000
13
Tembaga
5000
14
Aluminium
4000
15
Besi super (asli)
300
16
Besi Campuran
250
17
Kaleng minuman (Sari)
3000
18
Sandal, slang (Nilek)
750
19
Tempat odol (Pepsodent)
700
Hasil penelitian YDD di TPA Kricak Desember 1999

G. PENGELOLAAN LIMBAH DAN UPAYA PENGELOLAAN LIMBAH
Pengolahan limbah RS dan Pengelolaan limbah RS dilakukan dengan berbagai cara. Yang diutamakan adalah sterilisasi, yakni berupa pengurangan (reduce) dalam volume, penggunaan kembali (reuse) dengan sterilisasi lebih dulu, daur ulang (recycle), dan pengolahan (treatment) (Slamet Riyadi, 2000).
Berikut adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan kodifikasi dengan warna yang menyangkut hal-hal berikut :
  1. Pemisahan Limbah
-  Limbah harus dipisahkan dari sumbernya
-  Semua limbah beresiko tinggi hendaknya diberi label jelas
-  Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda yang menunjukkan kemana kantong plastik harus diangkut untuk insinerasi aau dibuang (Koesno Putranto. H, 1995).
  1. Penyimpanan Limbah
Dibeberapa Negara kantung plastik cukup mahal sehingga sebagai gantinya dapat digunkanan kantung kertas yang tahan bocor (dibuat secara lokal sehingga dapat diperloleh dengan mudah) kantung kertas ini dapat ditempeli dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan ditong dengan kode warna dibangsal dan unit-unit lain.
  1. Penanganan Limbah
-  Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah terisi 2/3 bagian. Kemudian diikiat bagian atasnya dan diberik label yang jelas
-  Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga  jika dibawa mengayun menjauhi badan, dan diletakkan ditempat-tempat  tertentu untuk dikumpulkan
-  Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan  warna yang sama telah dijadikan satu dan dikirimkan ketempat yang sesuai
-  Kantung harus disimpan pada kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak sebelum diangkut ketempat pembuangan.
  1. Pengangkutan limbah
Kantung limbah dipisahkan dan sekaligus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah bagian bukan klinik misalnya dibawa kekompaktor, limbah bagian Klinik dibawa keinsenerator. Pengangkutan dengan kendaraan khusus (mungkin ada kerjasama dengan dinas pekerja umum) kendaraan yang digunakan untuk mengangkut limbah tersebut sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan setiap hari, jika perlu (misalnya bila ada  kebocoran kantung limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.
  1. Pembuangan limbah
Setelah dimanfaatkan dengan konpaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat penimbunan sampah (Land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insenerasi), jika tidak mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk.
(Bambang Heruhadi, 2000).
Rumah sakit yang besar mungkin mampu memberli inserator sendiri, insinerator berukuran kecil atau menengah dapat membakar pada suhu                        1300-1500 ºC atau lebih tinggi dan mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk kebutuhan energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat pula mempertoleh penghasilan tambahan dengan melayani insinerasi limbah rumah sakit yang berasal dari rumah sakit yang lain. Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan antara lain kemampuannya menampung limbah klinik maupun limbah bukan klinik, termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai lagi.
Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan ditanam. Langkah-langkah pengapuran (Liming) tersebut meliputi sebagai berikut :
  1. Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter
  2. Tebarkan limbah klinik didasar lubang samapi setinggi  75 cm
  3. Tambahkan lapisan kapur
  4. Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditanamkan samapai ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah
  5. Akhirnya lubang tersebut harus ditutup dengan tanah
(Setyo Sarwanto, 2003).
Perlu diingat, bahan yang tidak dapat dicerna secara biologi (nonbiodegradable), misalnya kantung plastik tidak perlu ikut ditimbun.                   Oleh karenanya limbah yang ditimbun dengan kapur ini dibungkus kertas. Limbah-limbah tajam harus ditanam.
Limbah bukan klinik tidak usah ditimbun dengan kapur dan mungkin ditangani oleh DPU atau kontraktor swasta dan dibuang ditempat tersendiri atau tempat pembuangan sampah umum. Limbah klinik, jarum, semprit tidak boleh dibuang pada tempat pembuangan samapah umum.
Semua petugas yang menangani limbah klinik perlu dilatih secara memadai dan mengetahui langkah-langkah apa yang harus dilakukan jika mengalami inokulasi atau kontaminasi badan. Semua petugas harus menggunakan pakaian pelindung yang memadai, imunisasi terhadap hepatitis B sangat dianjurkan dan catatan mengenai imunisasi tersebut sebaiknya tersimpan dibagian kesehatan kerja (Moersidik. S.S, 1995).
Melihat karakteristik dan dampak-dampak yang dapat ditimbulkan oleh buangan/limbah rumah sakit seperti tersebut diatas, maka konsep pengelolaan lingkungan sebagai sebuah sistem dengan berbagai proses manajemen didalamnya yang dikenal sebagai Sistem Manajemen Lingkungan rumah sakit yang perlu diterapkan. Dengan pendekatan sistem tersebut, pengelolaan lingkungan itu sendiri adalah suatu usaha untuk meningkatkan kualitas dengan menghasilkan limbah yang ramah lingkungan dan aman bagi masyarakat sekitar.
      Keterlibatan pemerintah yang memiliki badan yang menangani dampak lingkungan, pihak manajemen puncak rumah sakit dan lembaga kemasyarakatan merupakan kunci keberhasilan untuk melindungi masyarakat dari dampak buangan / limbah rumah sakit ini (Mentri Negara Lingkungan Hidup, 2004).


Upaya pengelolaan limbah RS
Pengolahan limbah pada dasarnya merupakan upaya mengurangi volume, konsentrasi atau bahaya limbah, setelah proses produksi atau kegiatan, melalui proses fisika, kimia atau hayati. Upaya pertama yang harus dilakukan adalah upaya preventif yaitu mengurangi volume bahaya limbah yang dikeluarkan ke lingkungan yang meliputi upaya mengurangi limbah pada sumbernya, serta upaya pemanfaatan limbah. Program minimisasi limbah di Indonesia baru mulai digalakkan, bagi RS masih merupakan hal baru, yang tujuannya untuk mengurangi jumlah limbah dan pengolahan limbah yang masih mempunyai nilai ekonomis. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengungkapkan pilihan teknologi mana yang terbaik untuk pengolahan limbah, khususnya limbah berbahaya antara lain reduksi limbah (wasfe reduction), minimisasi limbah (waste minimization), pemberantasan limbah (waste abatement), pencegahan peF&emaran (waste prevention) dan reduksi pada sumbemya (source reduction).
Reduksi limbah pada sumbernya merupakan prioritas atas dasar pertimbangan antara lain meningkatkan efisiensi kegiatan, biaya pengolahannya relatif murah dan pelaksanaannya relatif mudah.

Berbagai cara yang digunakan untuk reduksi limbah pada sumbernya adalah:
1. House keeping yang baik, dilakukan demi menjaga kebersihan lingkungan dengan mencegah terjadinya ceceran, tumpahan atau kebocoran bahan serta menangani limbah yang terjadi dengan sebaik mungkin.
2. Segregasi aliran limbah, yakni memisahkan berbagai jenis aliran limbah menurut jenis komponen, konsentrasi atau keadaanya, sehingga dapat mempermudah, mengurangi volume, atau mengurangi biaya pengolahan limbah.
3. Preventive maintenance, yakni pemeliharaan/penggantian alat atau bagian alat menurut waktu yang telah dijadwalkan.
4. Pengelolaan bahan (material inventory), suatu upaya agar persediaan bahan selalu cukup untuk ; menjamin kelancaran proses kegiatan, namun tidak berlebihan sehingga tidak menimbulkan gangguan lingkungan, sedangkan penyimpanan agar tetap rapi dan terkontrol.
5. Pemilihan teknologi dan proses yang tepat untuk mengeluarkan limbah B3 dengan efisiensi yang cukup tinggi, sebaiknya dilakukan sejak awal pengembangan rumah sakit baru atau penggantian sebagian unitnya.
6. Penggunaan kantung limbah dengan warna berbeda untuk memilah-milah limbah di tempat sumbernya, misalnya limbah klinik dan bukan klinik. Kantung plastic cukup mahal, sebagai gantinya dapat digunakan kantung kertas yang tahan bocor, dibuat secara lokal sehingga mudah diperoleh. Kantung kertas ini dapat ditempeli strip berwarna, kemudian ditempatkan di tong dengan kode warna di bangsal dan unit-unit lain.

Teknologi pengolahan limbah
Teknologi pengolahan limbah medis yang sekarang jamak dioperasikan hanya berkisar antara masalah tangki septik dan insinerator (pembakaran). Keduanya sekarang terbukti memiliki nilai negatif besar. Tangki septik banyak dipersoalkan lantaran rembesan air dari tangki yang dikhawatirkan dapat mencemari tanah. Terkadang ada beberapa rumah sakit yang membuang hasil akhir dari tangki septik tersebut langsung ke sungai-sungai, sehingga dapat dipastikan sungai tersebut tercermari zat medis. Insinerator, yang menerapkan teknik pembakaran pada sampah medis, juga bukan berarti tanpa cacat. Badan Perlindungan Lingkungan AS (United States Environmental Protection Agency -USEPA) menemukan teknik insenerasi merupakan sumber utama zat dioksin yang sangat beracun. Penelitian terakhir menunjukkan zat dioksin ini menjadi pemicu tumbuhnya kanker pada tubuh. Hal yang sangat menarik dari permasalahan ini adalah ditemukannya teknologi pengolahan limbah dengan metode ozonisasi, satu metode sterilisasi limbah cair rumah sakit yang direkomendasikan USEPA pada tahun 1999. Teknologi ini sebenarnya dapat juga diterapkan untuk mengelola limbah pabrik tekstil, cat, kulit, dan lain-lain.

Ozonisasi limbah medis
Limbah cair yang dihasilkan RS umumnya banyak mengandung bakteri, virus, senyawa kimia, dan obat-obatan yang dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat sekitar RS tersebut. Limbah dari laboratorium paling perlu diwaspadai. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses uji laboratorium tidak bisa diurai hanya dengan aerasi atau activated sludge. Bahan-bahan itu mengandung logam berat dan infektius, sehingga harus disterilisasi atau dinormalkan sebelum "dilempar" menjadi limbah tak berbahaya. Foto rontgen misalnya, menggunakan cairan tertentu yang mengandung radioaktif yang cukup
berbahaya. Setelah bahan ini digunakan. limbahnya dibuang. Sebenarnya, proses ozonisasi telah dikenal lebih dari seratus tahun lalu. Proses ozonisasi pertama kali diperkenalkan pada tahun 1906 oleh Nies dari Prancis sebagai metode sterilisasi air minum. Penggunaan proses ozonisasi kemudian berkembang sangat pesat.
Dewasa ini, metode ozonisasi mulai banyak digunakan untuk sterilisasi bahan makanan, pencucian peralatan kedokteran, hingga sterilisasi udara pada ruangan kerja di perkantoran. Dengan pemanfaatan sistem ozonisasi ini pihak RS tidak hanya dapat mengolah limbahnya tapi juga akan dapat menggunakan kembali air limbah yang telah terproses (daur ulang). Teknologi ini, selain efisiensi waktu juga cukup ekonomis, karena tidak memerlukan tempat instalasi yang luas.














BAB IV
PENUTUP



A.  Kesimpulan
Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis. Limbah infeksius misalnya jaringan tubuh yang terinfeksi kuman. Limbah jenis itu seharusnya dibakar, bukan dikubur, apalagi dibuang ke septic tank. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuangan seperti itu.

B.  Saran
Sebaiknya Limbah Rumah sakit atau limbah medis dikelola dengan baik karena limbah medis ini sangat berbahaya daripada limbah-limbah lainnya. Sebaiknya setiap Rumah Sakit, Puskesmas atau instansi kesehatan lainnya mempunyai alat Incinerator yaitu alat yang digunakan untuk membakar sampah atau limbah medis dengan temperature sampai 800oc.












DAFTAR PUSTAKA



DR. Setiawan W, Dipl. SE.,M. Eng, Tuesday, 03 March 2009 08:53 , Pengelolaan Limbah Medis, 30 Desember 2009

Amin Rahayu dan Budi Nugroho, Pengelolaan Limbah Rumah Sakit, 30 Desember 2009


Zaenab, SKM, M.Kes, , Teknologi Pengelolaan Limbah “medis” cair, 30 Desember 2009